Selasa, 11 September 2012

Ada Preman di Dewan


Demokratisasi telah tercoreng hari ini (11/9). Bukan di jalanan, bukan diruang diskusi, bukan di kantor birokrat, tapi di Gedung DPRD. Ironis, selama ini gedung DPRD adalah simbol demokrasi, kebebasan berbicara, dan kebebasan berpendapat setiap warga negara. Katanya gedung DPRD adalah rumah rakyat, tapi ternyata hanya rakyat tertentu yang bisa berumah disitu. Parahnya lagi, kejadian ini terjadi di Jogja. Jogja dikenal (Saya tidak tahu apakah ini hanya klaim saja) sebagai daerah yang plural. Dimana banyak perbedaan bisa berjalan bersama. Sayangnya, tidak semua orang berpikir seperti itu. 

Disini saya melepaskan posisi jurnalis saya dan memihak pada demokrasi. Saya tidak memihak pada kubu A atau B. Mayoritas atau pun minoritas. Saya pilih demokrasi dimana setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Tidak ada yang dilucuti kebebasannya. 

Berikut saya tulis liputan kejadian yang saya anggap sabotase atas kebebasan berbicara dan berpolitik di DPRD: 

Sekber Usir Pendukung Angling

JOGJA - Kedatangan KPH Widjojokusumo dan KPH Wiroyudho beserta beberapa pendukungnya sempat menimbulkan gesekan-gesekan dengan aktivis sekber keistimewaan di halaman Gedung DPRD DIJ kemarin sekitar pukul 14.30 WIB. Awalnya aktivis sekber yang mendirikan posko di depan gedung DPRD tidak mengetahui kedatangan kubu KPH Anglingkusumo tersebut. Sebab datang menggunakan mobil xenia berwarna Baby Blue dan langsung menuju parkiran belakang dewan. Sehingga tidak tampak mencurigakan.

Namun belakangan, para aktivis sekber mengetahuinya, terlebih saat tak lebih dari sepuluh orang lelaki yang masih sangat muda menggunakan kaos merah dengan lambang pakualaman datang menggunakan motor. Aktivis Sekber langsung menutup gerbang DPRD yang hendak menghadang kubu Anglingkusumo.
Namun saat mobil KPH Widjojokusumo hendak keluar gedung DPRD, gerbang pun di buka. Hingga menyisakan para pendukung angling di halaman DPRD.  Para pendukung Angling pun segera dikerumuni oleh elemen pro penetapan itu. Sejumlah orang memaksa para anak muda itu membuka baju mereka yang berlambang pakualaman dengan teriakan –teriakan.  Dengan tanpa baju, mereka pun digiring ke pos satpam DPRD. 

Disitu, para aktivis sekber dengan suara yang tinggi menanyakan siapa mereka dan apa maksud tujuannya datang ke DPRD. Para anak muda itu hanya diam sambil menunduk dengan intimidasi tersebut. Lalu, para elemen pro penetapan itu pun meminta KTP para pendukung Anglingkusumo itu. Setelah data di KTP dicatat, mereka pun memaksa para pendukung pakualam untuk segera meninggalkan gedung DPRD.

Tak berapa lama Widjojokusumo dan Wiroyudho pun kembali ke DPRD dan mengaku sebagai kordinator dari para pemuda itu. Wiroyudho yang merupakan menantu Angling pun menghampiri para aktivis sekber dan menyelesaikan masalah itu dengan berjabat tangan. Pihak sekber pun mengatakan bahwa pihaknya hanya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan para pemuda itu dengan baik-baik. “Kami hanya ingin menanyakan baik-baik. Sudah-sudah. Matur nuwun nggih,”kata salah satu aktivis sekber.

Setelah itu, para awak media pun segera menghampiri Widjojokusumo dan Wiroyudho untuk wawancara. Namun para pro penetapan pun meminta pers untuk melakukan wawancara diluar gedung DPRD. “Keluar. Keluar. Wawancara diluar saja sana. Kami mengendalikan tidak ada kekerasan tapi kami jangan dipancing,”ujar suara aktivis sekber yang lain.

Wiroyudho mengaku pihaknya tidak akan memperpanjang masalah tersebut dan menganggap itu adalah kesalahpahaman dan bisa diselesaikan. Namun ia menyayangakan pemaksaan pembukaan baju berlambang pakualaman. Itu berarti para aktivis tidak menghormati pakualaman atas insiden itu. “Itu berarti mereka sudah menghina wibawa pakualaman. Kalau mereka bilang mereka pendukung Kanjeng Ambarkusumo tapi mencopot baju pakualaman berarti mereka sendiri tidak menghagai pakualaman,”katanya.

Salah satu aktivis Sekber Jony Iskandar mengaku jengkel pada para pemuda. Sebab ketika dia menanyakan maksud tujuan, mereka hanya diam saja.  “Itu bikin jengkel. Sudah ditanya baik-baik apa kepentingannya malah diam. Ini kan (DPRD) poskonya Sekber untuk mengawal keistimewaan ini. Jangan sampai diricuhkan rakyat kecil,”kata pria asal Madura ini.

Kata dia, setiap orang berhak ke dewan. Hanya saja perlu dengan aturan main. Menurut Jony sudah ada aturan main, dimana pihaknya sudah menjelaskan mengapa mereka mendirikan posko di DPRD. Kata dia salah satu aturan main yang dilanggar oleh pendukung Anglingkusumo adalah ada yang datang menyerahkan berkas Anglingkusumo, tanpa laporan. “Itu diam apa maksudnya. Itu kan memancing kemarahan namanya. Coba ke sini baik-baik bilang apa penjelasannya kan enak,”tegasnya.

Sementara itu Anggota Pansus Penetapan Arif Rahman Hakim menghimbau agar kedua pihak menjaga proses penetapan gubernur dan wakil gubernur dengan sebaik-baiknya. Agar tidak tercederai oleh aksi-aksi vandalis yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Jogjakarta. Kata dia setiap orang memang berhak menyampaikan pendapat ke DPRD. “Namun pendapat yang disampaikan harus yang  bisa dipertanggungjawabkan,”tandasnya. (hed)”

Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan tiba-tiba muncul merasa menjadi pemilik dewan. Mereka merasa berhak untuk menentukan siapa yang boleh ke dewan dan siapa yang tidak. Beberapa hari lalu, elemen pro penetapan dalam rancangan undang undang keistimewaan (RUUK) memang mendirikan posko di DPRD DIJ. Alasannya ingin mencegah Anglingkusumo yang mengklaim sebagai Paku Alam IX untuk mendaftarkan diri sebagai calon gubenur.

Sekber mengaku sebagai pendukung Paku Alam IX (KGPAA Ambarkusumo) yang sudah menjadi PA sejak 1999. Jika menarik jauh ke belakang, konflik antara Ambarkusumo dan Anglingkusumo memang telah berlangsung sejak Ambarkusumo dilantik. Anglingkusumo menegaskan dia tidak mengakui pelantikan itu. Konflik itu terus bergulir hingga kini. Puncaknya adalah ketika UUK disahkan pada 30 Agustus 2012. Dimana salah satu keistimewaan DIJ adalah jabatan gubernur dan wakil gubernur melekat pada sultan dan paku alam yang bertahta. Kini telah dilakukan pendaftaran cagub dan cawagub untuk diverifikasi DPRD dan ditetapkan melalui paripurna pada 21 September 2012. Lalu dilantik presiden pada 9 Oktober mendatang.

Karena keduanya mengklaim bertahta, maka dua kakak beradik tiri itu mendaftarkan diri dengan membawa 14 persyaratan yang diamanatkan UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keisitmewaan DIJ. Dewan sendiri mengaku hanya akan menindaklanjuti berkas milik Ambarkusumo. Karena yang mereka akui selama ini menjadi PA IX adalah yang telah lama mereka kenal dan menjabat sebagai wakil gubenur sejak 2002.

Saya tidak mau membahas sikap dewan. Namun saya sangat menyesalkan politik dukung mendukung yang tidak sehat ini. Sekber sepertinya sudah merasa menjadi polisi tepatnya preman keistimewaan. Saya kira tidak seharusnya mereka menghadang melakukan intimidasi terhadap pendukung Angling yang bahkan belum mengeluarkan satu pernyataan sikap apapun. Mereka memaksa enam pemuda itu membuka baju, menggiring ke pos satpam, menginterogasi dengan suara yang menggelegar. 

Karena para pemuda itu diam, lantas sejumlah “penjaga UUK” menyatakan bahwa para pendukung Angling itu bayaran. Tidak ada juga yang bisa menjamin bahwa “penjaga UUK’ itu juga tidak dibayar (bukan secara harfiah). Politik bayar membayar itu sudah sangat biasa saat ini, walaupun itu tidak bisa dimaklumi. 

Jony Iskandar bilang mereka tidak mau melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Tapi mereka minta untuk tidak dipancing. Buat saya itu tindakan yang egois. Kenapa orang-orang harus peduli kepada keberpihakan mereka? Harusnya kalau mau dipedulikan mereka juga harus peduli pada pendapat orang lain. Bukankan setiap orang harus saling menghargai.

Berbagai kejadian ini sepertinya semakin membuat saya yakin, bahwa demokrasi dan kebebasan untuk berpendapat itu tidaklah segampang mengucapkannya. Karena masih saja banyak orang-orang dungu yang tidak mengerti itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar